Selasa, 07 Mei 2013

Kegamangan Ubah Kurikulum 2013 Sampai Kekacauan UN

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Gino Vanollie menyatakan peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2013 harus menjadi ruang kontemplasi dan autokritik bagi para pemilik kepentingan di bidang pendidikan.
"Pemerintah masih gamang untuk mengubah kurikulum 2013 sehubungan sampai dengan hari ini masih belum jelas kepastiannya," katanya di Bandarlampung, Kamis.
"Kita juga prihatin, karena kado istimewa untuk peringatan Hardiknas tahun ini diwarnai ujian nasional SMA sederajat yang carut marut," ujarnya lagi.
Menurut dia pula, hal itu menjadi peringatan bagi pemerintah agar lebih serius mengolah pendidikan. "Bagaimana bisa terjadi kekacauan semacam itu, seolah menegaskan pemerintah abai cara mengelola pendidikan menjadi lebih baik," kata dia pula.
Sejumlah pihak, ucapnya menambahkan, menyarankan pemerintah arif dan bijaksana dalam melihat realitas jika kurikulum 2013 tidak begitu saja diterapkan. "Akan ada kegagalan jika dipaksakan pergantian kurikulum," katanya pula.
Dalam kurun waktu satu dekade, katanya menjelaskan, sudah ada pergantian dua kali kurikulum.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) berlangsung 2006, dan belum berjalan optimal dan merata, sudah akan diubah ke kurikulkum 2013.
"Kurikulum sebelumnya mampu melewati beberapa-berapa dekade. Jika ada pemaksaan pergantian dan tidak berhasil, tentu menjadi preseden buruk," ucapnya lagi.
Dengan testimoni tersebut, ia mengaku tidak menolak perubahan sehubungan hal tersebut harus terjadi. "Perubahan sudah semestinya terjadi. Tetapi harus dirancang dan diyakini dengan baik. Itu yang harus menjadi catatan," katanya.

Organisasi Guru Desak Uji Coba Kurikulum 2013

JAKARTA, KOMPAS.com — Kebijakan pemerintah yang tetap bersikeras menerapkan Kurikulum 2013 tanpa proses uji coba diprotes keras sejumlah organisasi guru. Sebab, pemaksaan implementasi Kurikulum 2013 yang tanpa memperhatikan realitas di lapangan soal kesiapan guru dan infrastruktur dinilai hanya akan mengorbankan siswa, guru, dan masyarakat.
"Aneh, kalau Mendikbud tetap tidak mau menguji coba Kurikulum 2013. Keampuhan kurikulum ini kan mesti dilihat dan dievaluasi setelah diterapkan di sejumlah sekolah dan daerah, dari yang sekolah maju, sekolah biasa-biasa, maupun yang di daerah perkotaan hingga di daerah terpencil," kata Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI) Retno Listyarti di Jakarta, Selasa (7/5/2013).
Mohammd Ihsan, Sekretaris Jenderal Ikatan Guru Indonesia (IGI), mengatakan, pengumuman Mendikbud soal pengurangan jumlah sekolah yang menerapkan Kurikukulum 2013 hingga beberapa kali menunjukkan ketidaksiapan pemerintah. "Perubahan kurikulum memang hal biasa. Para guru pun menyadari dan bisa menerima. Tetapi, mengapa tidak lebih baik diuji coba dulu, sambil dievaluasi. Apalagi sekolah yang menerapkan terus dikurangi. Ya, lebih baik disebut saja sebagai uji coba, bukan langsung ditetapkan di sekolah-sekolah unggulan saja," kata Ihsan.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo. Menurut Sulistiyo, Kurikulum 2013 mestinya diuji coba dengan pemilihan sampling yang baik supaya Kurikulum 2013 siap dilaksanakan.
"Bukan asal main langsung diterapkan. Lalu, kalau nanti gagal, guru yang disalahkan. Kebijakan yang seperti ini tidak membuat sistem pendidikan semakin baik, malah siswa dan guru yang dirugikan," kata Sulistyo.
Pada Senin kemarin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh kembali mengumumkan pengurangan jumlah sekolah yang menerapkan Kurikukulum 2013. Nuh menjelaskan, penetapan jumlah sekolah pelaksana Kurikulum 2013 tidak hanya terkait pertimbangan akademik. Ada pertimbangan eksternal yang diikutkan, yaitu masalah kesiapan.
Salah satu kriteria sekolah yang diprioritaskan untuk menjalankan kurikulum ini adalah sekolah eks-RSBI dan sekolah dengan akreditasi A. Di jenjang SD, Kurikulum 2013 akan dijalankan di 2.598 sekolah untuk kelas I dan IV. Di SMP akan dilaksanakan di 1.521 sekolah untuk kelas VII. Adapun jenjang SMA di 1.270 sekolah, serta SMK di 1.021 sekolah yang dimulai di kelas X.
Total keseluruhan pelaksana kurikulum 2013 adalah 6.410 sekolah, 56.113 guru, dan 1.535.065 siswa.
Nuh mengatakan, pemilihan sekolah juga mempertimbangkan jarak lokasi dari bandar udara terdekat untuk menjamin kelancaran distribusi logistik Kurikulum 2013. Basis pemilihan sekolah pun tidak lagi berdasarkan kabupaten/kota, melainkan berbasis provinsi.

Jarak Idealisme Kurikulum dan Realitas

Pengantar
Perubahan Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013 disikapi berbeda oleh berbagai pihak. Sejauh mana kurikulum itu mendesak diterapkan di tengah problematika guru dan infrastruktur pendidikan? Litbang Kompas menyelenggarakan Survei Guru dan Kualitas Pendidikan Nasional 2013 untuk melihat sejauh mana kesenjangan terjadi. Analisis survei akan dipaparkan secara terpisah dalam 5 tulisan dan diturunkan setiap hari Sabtu dan Senin selama 3 minggu ke depan.
***
Pendidikan adalah harapan. Rencana penerapan Kurikulum 2013 mekar dengan harapan itu. Indonesia ditargetkan mampu menjawab tantangan masa depan peradaban yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Alih-alih menebar harapan yang sama, penerapan Kurikulum 2013 menuai polemik.
Di atas kertas, muatan idealisme Kurikulum 2013 berjarak dengan realitas praktik pendidikan di daerah.
Kurikulum 2013 bertitik tolak dari gagasan untuk merebut peluang bonus demografi dalam tiga dekade mendatang. Tujuan kurikulum ini adalah mencetak generasi 2045 yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Dengan pendekatan tematik integratif, kurikulum ini mengembangkan kompetensi inti sebagai integrator horizontal yang mengikat keseluruhan mata pelajaran dan jenjang pendidikan sebagai kesatuan.
Dalam praktiknya di tingkat SD-SMP, kurikulum ini meleburkan materi sejumlah mata pelajaran ke dalam mata pelajaran lain. Jumlah mata pelajaran pun berkurang sehingga struktur kurikulum terkesan padat dan ringkas.
Sebagai strategi pendidikan, Kurikulum 2013 diposisikan sebagai simpul kritis dalam proses konsolidasi demokrasi. Dalam salah satu artikelnya, Wakil Presiden Boediono memaparkan bahwa pendidikan merupakan kunci pembangunan penentu kemajuan bangsa (Kompas, 27/8/2012). Rumusan kurikulum baru ini memang terinspirasi dari pengalaman Amerika Serikat yang menempatkan institusi pendidikan sebagai pilar utama demokrasi.
Secara substantif, gagasan ini menempatkan anak didik dalam dua sisi peran, yakni sebagai warga negara penopang sistem demokrasi sekaligus sumber daya manusia pemutar sistem ekonomi. Pendidikan umum membekali anak didik dengan sikap dan keterampilan dasar (soft skills) untuk berkarya menjadi warga negara negara yang baik. Sementara itu, pendidikan khusus memberikan kemampuan siap kerja (hard skills) di bidang-bidang tertentu.
Pemerintah juga mempersiapkan strategi demi kesesuaian antara kurikulum baru ini dengan latar belakang guru yang beragam. Terdapat tiga unsur pendukung pelaksanaan, yakni ketersediaan buku sebagai panduan bahan ajar dan sumber belajar, penguatan peran pemerintah daerah dalam pembinaan dan pengawasan, dan penguatan manajemen budaya sekolah.
Saat ini, tengah dibentuk tim utama yang terdiri dari guru-guru inti sebagai ujung tombak pelaksanaan kurikulum baru di lapangan.
Berjarak dengan realitas
Namun, tampaknya jurus di atas masih kuat di atas kertas. Relevansi kebijakan pendidikan nasional di satu sisi dengan kondisi infrastruktur pendidikan di sisi lain menjadi tema sentral dalam Survei Kompas mengenai Guru dan Kualitas Pendidikan Nasional 2013. Survei ini menjaring opini 512 guru dari SD dan SMP negeri dan swasta di delapan ibu kota provinsi.
Hasilnya, secara garis besar kebijakan pemerintah di bidang pendidikan merupakan hal yang relatif ketika dihadapkan pada kemampuan guru di daerah.
Sejumlah kebijakan, seperti penyediaan sarana dan prasarana sekolah, perubahan kurikulum dari masa ke masa, sertifikasi guru, dan standardisasi ujian nasional, merupakan kebijakan makro yang manfaatnya berjarak dengan praktik pendidikan dalam keseharian guru dan murid. Sertifikasi guru, misalnya, tidak menyentuh langsung aspek kemampuan dan karakter individual guru. Sebagian besar guru dinilai masih bertipe mediocre yang cenderung memiliki keterbatasan dalam pengayaan materi dan metode pengajaran. Peran guru pun sebatas pelaksana kurikulum, bagian dari birokrasi pendidikan.
Kondisi ini menyebabkan Kurikulum 2013 menjadi problematik dalam pelaksanaannya mengingat kurikulum ini mensyaratkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) yang memadai. Apalagi, guru memperlihatkan orientasi nilai yang kompleks, dengan kontinum pemahaman beragam, yakni konservatif dalam nilai keagamaan di satu sisi, namun liberal dalam pemahaman pendidikan.
Menjelang dua bulan pelaksanaan, sosialisasi Kurikulum 2013 masih kedodoran di lapangan. Survei memperlihatkan sosialisasi masih sangat minim di sejumlah wilayah. Sosialisasi baru sebatas formalitas pada SD-SMP favorit papan atas di wilayah perkotaan. Itu pun tidak mampu menjamin pemahaman yang optimal terhadap Kurikulum 2013.
Padahal, perubahan kurikulum ini membutuhkan perubahan paradigma berpikir guru terkait pendekatan dan teknik pengajaran, terutama pada mata pelajaran yang terintegrasi, seperti IPA, IPS, dan Bahasa. Selain itu, perubahan struktur kurikulum juga memunculkan sejumlah persoalan teknis seperti jam mengajar per minggu guru sertifikasi yang tidak terpenuhi dan kelebihan tenaga guru akibat sejumlah mata pelajaran dihilangkan.
Idealnya, Kurikulum 2013 diikuti dengan pelatihan guru agar idealisme baru dapat tertangkap lebih utuh dan dilaksanakan optimal. Kemampuan pengajaran para guru saat ini masih merupakan hasil dari pendidikan tinggi keguruan yang mengacu pada kurikulum lama, yakni guru di tingkat SD dididik untuk menguasai berbagai bidang yang diajarkan di tingkat SD. Sementara itu, guru SMP diarahkan untuk memiliki kebidangan.
Kebingungan teknis semacam itu mencerminkan bahwa perubahan kurikulum perlu dilakukan secara bertahap. Kontroversi yang berkembang seputar Kurikulum 2013 selama ini tidak terlepas dari perbedaan pandangan antara pemerintah sebagai penentu kebijakan di tingkat pusat dan kesiapan guru sebagai pelaksana di daerah yang memiliki kemampuan berbeda-beda.
Bingkai demokratisasi
Saat ini, pemerintah telah menurunkan target implementasi Kurikulum 2013. Pada tingkat SD dari 30 persen menjadi 5 persen, jenjang SMP dari 20 persen menjadi 7 persen. Kurikulum baru diterapkan di kelas I dan IV di tingkat SD dan kelas VII di jenjang SMP. Adapun di tingkat SMA/SMK tetap 100 persen di kelas X, artinya diterapkan di 11.572 SMA dan 10.685 SMK di seluruh Indonesia.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, penetapan Kurikulum 2013 adalah perubahan kurikulum yang ketiga kali sejak masa reformasi 1998. Secara substansial, belum terlihat visi yang hendak dicapai terkait dengan bingkai demokratisasi. Sekolah masih bergulat mempersoalkan teknis standardisasi dan evaluasi hasil pendidikan. Persoalan inilah yang harus dijernihkan dulu supaya Kurikulum 2013 itu tidak sekadar menjadi macan kertas. (Indah Surya Wardhani/Litbang Kompas)

Kurikulum 2013 untuk SMK

 Kurikulum 2013: Untuk SMK, ada 9 Bidang Studi Keahlian, 47 Program Studi Keahlian, dan 134 Paket Keahlian.

Dulu Kepala Program disingkat Kaprog, lalu diganti menjadi Kepala Kompetensi Keahlian disingkat Kakomli, nah sekarang Kapala Paket Keahlian disingkat apa?

#KPK? Kapak? Kepake? atau apa ya?
 http://www.facebook.com/download/464709430264734/SPEKTRUM%20PMK%202013%20%28FINAL%29.docx
STRUKTUR KURIKULUM SMK 2013...monggo yang memerlukan segera sedooottt
http://www.facebook.com/download/483482551717679/STRUKTUR%20KURIKULUM%20SMK.rar

Penjelasan M. Nuh Tentang Kurikulum 2013

UNGARAN, KOMPAS.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh membuka rahasia dibalik penerapan Kurikulum 2013, dihadapan para Ulama dan pelaku pendidikan di Kabupaten Semarang pada saat memberikan sambutan peresmian SMK Kesehatan Darussalam, Sabtu (4/5) siang di desa Gebugan, kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang.
Menurut Nuh, pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk menghilangkan tiga penyakit masyarakat. "Satu saja yang di ingat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengilangkan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan peradaban," kata Nuh.
Sedangkan konsep kurikulum 2013 diakui Nuh terbesit pada saat dirinya tengah menunaikan ibadah Umroh tahun 2006 lalu. Konsep itu adalah Tazkiyah (attitude), Tilawah (pengetahuan) dan Ta'alim (keterampilan).
"Saya buka rahasia konsep Kurikulum 2013 ini. Pada kesempatan saya menunaikan umroh tahun 2006. Dalam perjalanan ke Madinah saya menyempatkan mengaji. Pada saat itu saya menemukan surat yang menerangkan tentang tilawah, tazkiyah dan ta'alim ini, saya baca berulang-ulang surat ini. Saya pikir inilah yang saya cari-cari selama ini," jelas Nuh.
Dengan konsep atau kurikulum 2013 ini diharapkan dapat mengatasi ketiga penyakit masyarakat tesebut. Penerapan kurikulum 2013 ini, lanjut Nuh akan dilaksanakan secara bertahap dan terbatas. Pihaknya menyadari banyak pihak yang menentang penerapan kurikulum 2013 ini.
"Sikap kita sudah jelas. Yaa Bunaya irham ma'ana, wala takunu ma'al kafiriin. Maka janganlah ikuti jalan orang-orang yang menentang," pungkas Nuh.
Editor :
Bambang Priyo Jatmiko